Angklung adalah alat musik bambu khas Jawa Barat yang cukup luas dipakai di Asia tenggara (Perris 1971; Widaja 1980). Catatan sejarah munculnya angklung masih belum pasti, namun saat ini angklung dapat ditemukan di masyarakat Badui dalam yang sangat ketat menjaga budayanya. Dengan demikian, diperkirakan bahwa angklung sudah ada sejak jaman Hindu (O. A. Wiramihardja 2007). Sesuai dengan budaya musik tradisionil Sunda, angklung dibuat dengan tangga nada pentatonis dan umumnya dimainkan secara ritmis (Masunah et al. 2003). Kemudian sekitar tahun 1938, Daeng Soetigna mendapat ide untuk mengadopsi tangga nada diatonis ke dalam angklung (Sumarsono & Pirous 2007) sehingga angklung dapat membawakan berbagai musik modern. Dengan demikian, saat ini, angklung dapat dikelompokkan sebagai:
- Angklung tradisi, umumnya bernada pentatonis sesuai daerah masing-masing.
- Angklung padaeng, bernada diatonis sesuai standar musik internasional.
Mungkin mengikuti semangat yang diajarkan Pak Daeng Soetigna, banyak orang berinovasi mengembangkan alat musik angklung. Diantaranya adalah:
- Angklung Solo
- Arumba
- Angklung Toel
- Angklung Sri Murni
- Angklung Bolong
- Angklung Robot (Klungbot)
Referensi:
- Masunah, Juju, Rita Milyartini, Oya Yukarya, Uus Karwati, & Deni Hermawan. 2003. Angklung Di Jawa Barat: Sebuah Perbandingan. Vol. 1. 2 vols. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional, Universitas Pendidikan Indonesia (P4ST UPI).
- Sumarsono, Tatang, & Erna Garnasih Pirous. 2007. Membela Kehormatan Angklung: Sebuah Biografi Dan Bunga Rampai Daeng Soetigna. Bandung: Serambi Pirous.
- Wiramihardja, Obby A.R. 2010. Panduan Bermain Angklung. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.