Daeng Soetigna adalah bapak Angklung modern. Pada tahun 1930-an, beliau bekerja sebagai seorang guru musik di Kuningan. Sebagai sekolah jaman Belanda, beliau harus mengajarkan musik Barat, padahal alat musiknya sangat langka dan mahal (biola, piano). Keinginan kuat untuk mengajarkan musik pada murid-muridnya, mendorong beliau mencari akal. Nasib mempertemukan pak Daeng dengan Pak Djaja, seorang empu pembuat angklung tradisionil yang masih menggunakan nada daerah (pentatonis). Dengan dibimbing pak Djaja, akhirnya pak Daeng berhasil membuat angklung bernada diatonis, sesuai tangga nada Barat. Dari situ, Pak Daeng mulai mengajarkan musik dengan menggunakan angklung. Berdasar pengalamannya, Pak Daeng mencetuskan bahwa angklung sangat cocok sebagai alat pendidikan musik karena:
- Mudah (dimainkan)
- Murah (dibuat)
- Mendidik (untuk musik dan juga karakter disiplin, kerjasama)
- Menarik (minat orang untuk mendengar / ikut bermain)
- Massal (dapat dimainkan oleh banyak orang)
Lebih jauh, pak Daeng juga menetapkan standar set angklung yaitu:
- Angklung melodi : 30 buah dari nada G hingga C”
- Angklung akompanimen mayor : 12 buah
- Angklung akompanimen minor : 12 buah
Standard tersebut mampu menyamai orkestra barat, sehingga Pak Daeng berhasil mengaransemen berbagai lagu klasik seperti The Blue Danube, Ode To Joy, Eine Kleine Nachtmusik untuk dimainkan dengan angklung. Selain itu, beliau juga menulis lagu sendiri, diantaranya “Mars Angklung“.
Kemampuan beliau sebagai perajin angklung, seniman, pelatih, sekaligus manajer sangatlah istimewa. Banyak tokoh angklung lain adalah hasil didikan beliau, diantaranya:
- Pak Udjo Ngalagena
- Pak Handiman Diratmasasmita
- Pak Obby AR Wiramihardja
- Pak Edy Permadi
Berkat perjuangan beliau, murid-muridnya menjadi penampil yang luar biasa sehingga angklung dikenal luas sebagai alat musik bergengsi. Presiden Soekarno mempercayai beliau dan tim-nya untuk konser di istana negara, konferensi Lingarjati (1949), hingga konferensi Asia Afrika (1955).
Berkat jasanya tersebut, angklung diatonis akhirnya dijuluki sebagai “Angklung Padaeng”.
Referensi: