Setiap alat musik punya karakter unik yang membuatnya cocok untuk membawakan jenis musik tertentu. Misalnya saja suara biola cenderung panjang dan dapat berubah nada dengan mulus (legato), sementara suara piano pendek dan nadanya tegas. Untuk angklung, karakter suaranya sangat unik karena fitrahnya sebagai alat musih getar (rattled idiophones). Suara ketukan bambunya memberi kesan perkusif, seperti gambang atau xylophone, namun panjang (sustain) karena terus bergetar. Ditambah lagi dengan tabung resonansi yang terpadu, akan terdengar juga suara mengaung seperti organ. Dengan kekayaan suara tersebut, angklung dapat diaransemen untuk berbagai genre dari klasik sampai koplo, maupun daerah dari Sunda sampai Belanda.
Sementara itu dari segi aransemen, perkembangan musik angklung nampaknya berkembang dalam beberapa gaya sebagai berikut:
- Ritmis: banyak digunakan pada angklung tradisi.
- Klasik: adalah gaya asli yang dikembangkan oleh Pak Daeng Soetigna sejak 1940-an, di ilhami oleh latar belakang beliau dalam musik era kolonial Belanda. Di sini, angklung berfungsi sebagai melodi utama lalu ditemani oleh angklung akompanimen untuk akord dan bass betot untuk seksi ritme.
- Ensemble Arumba: sekitar akhir tahun 1960-an, Abah Burhan mengenalkan ensemble Arumba, dan dengan itu membawa gaya aransemen baru dimana angklung sebagai melodi utama, ditemani oleh gambang sebagai pembawa akord dan gendang untuk ritmenya.
- Paduan Angklung: gaya ini berkembang di KPA SMA III, berlanjut di KPA ITB, diilhami oleh musik rock operatik era 1980-an. Ciri khasnya adalah aransemen yang menekankan paduan “suara” angklung, dimana angklung memainkan beberapa melodi yang bukan sekedar blok akord.
- Band Angklung: mengikuti jaman, gaya ini menggabungkan alat musik modern seperti gitar listrik, bass dan drum.
Artikel terkait: